Pengurangan Dampak Buruk, Apa dan Bagaimana Peran Kita

[vc_row][vc_column width=”1/1″][vc_column_text]Beberapa waktu yang lalu saya mengikuti seminar yang berjudul “Harm Reduction and You – Integrative Harm Reduction Psychotherapy” yang disampaikan oleh Dr. Andrew Tatarsky, seorang pakar yang diakui secara internasional dalam perawatan penyalahgunaan zat dan dia juga adalah direktur dari The Center for Optimal Living di Amerika. Seminar ini diselenggarakan oleh Yayasan Adi Guna Nusantara, yang diketuai oleh Ines Titi Sari, seorang anak muda yang cerdas dan memiliki visi sosial yang tinggi. Di sini saya ingin berbagi mengenai apa yang saya dapatkan dalam seminar tersebut dan bagaimana hubungannya dengan kita maupun kehidupan di Indonesia.

Definisi Harm Reduction

Apakah harm reduction atau yang dalam Bahasa Indonesia disebut pengurangan dampak buruk itu? Menurut International Harm Reduction Association (IHRA), ”Pengurangan dampak buruk” merujuk pada kebijakan, program dan praktek-praktek yang tujuan utamanya adalah untuk mengurangi berbagai akibat merugikan pada aspek kesehatan, sosial dan ekonomi karena penggunaan obat obatan psikoaktif baik yang legal ataupun ilegal tanpa perlu mengurangi penggunaannya. Pendekatan pengurangan dampak buruk bermanfaat bagi mereka yang menggunakan Napza, keluarga dan komunitasnya.

Dalam presentasinya, Dr. Andrew Tatarsky menjelaskan tantangan yang dihadapi dalam upaya penanggulangan masalah terkait NAPZA. Mengutip kata-kata dari Ed Khantzian, seorang professor di bidang psikiatri: “Tidak terlalu sulit untuk melihat bahwa kita kalah dalam memerangi adiksi”. Kenapa? Karena pada kenyataannya, jumlah pengguna semakin banyak, jumlah pengedar bertambah banyak, dan jumlah pengguna yang menjalani rehabilitasi dan kembali menggunakan NAPZA juga banyak. Hal ini terjadi di hampir semua negara.  Sehingga diperlukan pendekatan lain dalam tujuan menanggulangi atau mengurangi dampak buruk penyalahgunaan NAPZA dan kemudian menurunkan jumlah pengguna NAPZA.

Dalam artikelnya IHRA juga menjelaskan bahwa pengurangan dampak buruk menghargai pendekatan-pendekatan yang bertujuan untuk mencegah atau menggurangi tingkat penggunaan Napza secara menyeluruh. Pendekatan ini didasarkan pada pengakuan bahwa banyak orang diseluruh dunia terus menggunakan zat-zat psikoaktif walau telah dilakukan berbagai upaya yang sungguh-sungguh untuk mencegah orang memulai memakai atau berlanjut menggunakannya. Pendekatan pengurangan dampak buruk menerima kenyataan banyak orang-orang yang menggunakan Napza tidak mampu mampu atau belum mau menghentikan penggunaan Napza tersebut. Akses terhadap program perawatan yang baik memang penting bagi orang-orang yang mempunyai masalah-masalah Napza, tetapi mereka tidak mampu atau tidak mau memperoleh perawatan. Lebih jauh lagi, kebanyakan orang yang menggunakan Napza tidak membutuhkan perawatan. Terdapat kebutuhan untuk menyediakan beberapa pilihan bagi pengguna Napza untuk memperkecil resiko dari penggunaan napza yang berlanjut, dan merugikan diri sendiri serta orang lain. (sumber: http://www.ihra.net/files/2010/06/01/Briefing_What_is_HR_Indonesian.pdf )

Psikoterapi Pengurangan Dampak Buruk secara Integratif

Dalam jurnal “Integrative Harm Reduction Psychotherapy: A Case of Substance Use, Multiple Trauma, and Suicidality”, Dr. Andrew Tatarsky mendefinisikan proses itu sebagai; Integrative harm reduction psychotherapy (Tatarsky, 1998, 2002) draws on the contributions of the psychodynamic, cognitive-behavioral, humanistic, and biological traditions to address the unique vulnerabilities and consequences related to each patient’s substance use. Yang dapat diartikan sebagai kontribusi dari psikodinamik, kognitif-perilaku, humanistik, dan tradisi biologis untuk mengatasi kerentanan yang unik dan konsekuensi yang terkait dengan penggunaan zat setiap pasien. Persyaratan untuk meninggalkan NAPZA (abstinensi) ditinggalkan sehingga terapi dapat dilakukan. Dalam prosesnya, terapi tersebut adalah bentuk negosiasi dan dialog yang disetujui bersama antara terapis dan klien. Sehingga hal ini menempatkan hubungan dan sifat kolaboratif dari komunikasi terapi di garis depan terapi. Sebuah hubungan terapeutik yang baik memfasilitasi kegiatan terapi lainnya: membangun keterampilan dan strategi aktif untuk mendukung perubahan positif dalam penggunaan zat, eksplorasi beberapa makna pribadi dan sosial dari penggunaan zat masalah, dan penemuan baru, solusi yang lebih efektif untuk faktor kerentanan terkait. Ini fokus yang luas dibahas dalam tujuh tugas terapeutik: mengelola aliansi terapeutik; hubungan menyembuhkan dari proses terapi; memperkuat keterampilan manajemen diri untuk perubahan; penilaian sebagai pengobatan; merangkul ambivalensi; bahaya penetapan tujuan pengurangan; dan strategi aktif untuk perubahan positif. Semua itu dijelaskan secara dalam pada seminar yang diselenggarakan selama 3 hari, dari tanggal 20-22 Agustus 2015 di Balai Kartini, Jakarta Selatan.

Hubungan antara Harm Reduction, Demand Reduction, dan Supply Reduction

Ketika kita masuk dalam ranah penanggulangan NAPZA, seringkali istilah tersebut muncul dalam diskusi-diskusi kelompok baik itu institusi pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, maupun pribadi-pribadi yang berkecimpung di area penanggulangan NAPZA. Berikut saya coba tuliskan hubungan diantara ketiga istilah tersebut.

Supply Reduction – adalah upaya secara terpadu melalui kegiatan yang bersifat pre-emtif, preventif dan represif guna menekan atau meniadakan ketersediaan NAPZA di pasaran atau di lingkungan masyarakat. Intervensi yang dilakukan mulai dari cultivasi/penanaman, pabrikasi/pemrosesan dan distribusi/ peredaran Narkoba tersebut.

Demand Reduction – adalah upaya secara terpadu melalui kegiatan yang bersifat pre-emtif, preventif, kuratif dan rehabilitatif guna meningkatkan ketahanan masyarakat sehingga memiliki daya tangkal dan tidak tergoda untuk melakukan penyalahgunaan Narkoba baik untuk dirinya sendiri maupun masyarakat sekelilingnya.

Harm Reduction – adalah untuk mengurangi berbagai akibat merugikan pada aspek kesehatan, sosial dan ekonomi karena penggunaan obat obatan psikoaktif baik yang legal ataupun ilegal tanpa perlu mengurangi penggunaannya. Pendekatan pengurangan dampak buruk bermanfaat bagi mereka yang menggunakan Napza, keluarga dan komunitasnya.

Ketiga hal tersebut saling terkait dan sangat penting dalam upaya kita menanggulangi masalah sosial penyalahgunaan NAPZA, khususnya di Indonesia.

Dekriminalisasi Penyalah Guna Narkotika

Dalam konteks penanggulangan masalah NAPZA, saat ini juga sering terdengar istilah dekriminalisasi penyalah guna NAPZA. Apakah itu dekriminalisasi?

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, dekriminalisasi adalah penggolongan suatu perbuatan yang pada mulanya dianggap sebagai peristiwa pidana, tetapi kemudian dianggap sebagai perilaku biasa. Dalam kaitannya dengan Undang – Undang narkotika di Indonesia, dekriminalisasi dapat diartikan bahwa perbuatan menggunakan narkoba tetap merupakan perbuatan melanggar hukum, namun apabila pengguna narkoba memenuhi kewajiban Undang-Undang, (melapor secara sukarela kepada institusi penerima wajib lapor), tidak dituntut pidana. Dan salah satu contoh negara yang telah sukses dalam menjalankan program dekriminalisasi ini adalah Portugal.

Pada awalnya, kebijakan ini ditentang oleh negara – negara di Eropa, namun Portugal tetap memulai program ini pada tahun 2001. Walaupun ada beberapa negara Eropa yang mengadopsi dekriminalisasi ini, tapi beberapa tersebut memberi pengecualian kepada ganja. Sementara Portugal tidak memberikan pengecualian kepada jenis narkoba. Lalu bagaimana keadaan di sana setelah 14 tahun?[/vc_column_text][/vc_column][/vc_row][vc_row][vc_column width=”1/1″][vc_single_image image=”137″ alignment=”center” border_color=”grey” img_link_target=”_self” img_size=”full”][/vc_column][/vc_row][vc_row][vc_column width=”1/1″][vc_column_text](Lifetime prevalence berarti persentase orang yang melaporkan telah menggunakan NAPZA pada beberapa titik dalam hidup mereka, past-year prevalence mengindikasikan penggunaan NAPZA selama tahun sebelumnya, sedangkan past-month prevalence berarti mereka yang telah menggunakan NAPZA selama bulan sebelumnya. Pada umumnya, semakin pendek jangka waktu, semakin handal pengukurannya.) (sumber: tdpf.org.uk)

Terdapat juga penurunan persentase penduduk yang pernah menggunakan obat dan kemudian terus melakukannya:[/vc_column_text][/vc_column][/vc_row][vc_row][vc_column width=”1/1″][vc_single_image image=”140″ border_color=”grey” img_link_target=”_self” img_size=”full” alignment=”center”][/vc_column][/vc_row][vc_row][vc_column width=”1/1″][vc_column_text]Kematian akibat NAPZA telah menurun tajam, seperti yang ditunjukkan pada grafik Transform ini:[/vc_column_text][/vc_column][/vc_row][vc_row][vc_column width=”1/1″][vc_single_image image=”141″ alignment=”center” border_color=”grey” img_link_target=”_self” img_size=”full”][/vc_column][/vc_row][vc_row][vc_column width=”1/1″][vc_column_text]Tingkat infeksi HIV di kalangan pengguna narkoba suntik telah berkurang dengan kecepatan tetap, dan telah menjadi masalah yang lebih mudah dikelola dalam konteks negara lain yang memiliki masalah dengan tingkat yang lebih tinggi, seperti yang dapat dilihat pada grafik tahun 2014 ini menurut laporan European Monitoring Center for Drugs and Drug Addiction Policy:[/vc_column_text][/vc_column][/vc_row][vc_row][vc_column width=”1/1″][vc_single_image image=”142″ alignment=”center” border_color=”grey” img_link_target=”_self” img_size=”full”][/vc_column][/vc_row][vc_row][vc_column width=”1/1″][vc_column_text]Dari grafik tersebut terlihat bagaimana program dekriminalisasi di Portugal memberikan hasil yang cukup positif dari sisi pengurangan permintaan NAPZA dan pengurangan dampak buruk penggunaan NAPZA.

Bagaimana dengan Indonesia? Menurut DR. Anang Iskandar (Mantan Kepala BNN), dekriminalisasi penyalah guna narkotika merupakan model penghukuman non kriminal sebagai salah satu kontruksi hukum modern, yang bertujuan menekan demand reduction dalam rangka mengurangi supply narkotika illegal, dan berdampak pada penyelesaian permasalahan narkotika di Indonesia.

Menurut Undang – Undang (UU) Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, pecandu narkotika wajib direhabilitasi, sedangkan pecandu adalah orang yang menggunakan atau menyalahgunakan narkotika dalam keadaan ketergantungan baik secara fisik maupun psikis, berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (MA) No. 4 Tahun 2010, tentang penempatan penyalah guna, korban penyalah guna dan pecandu narkotika ditempatkan ke dalam lembaga rehabilitasi medis dan sosial. Ini berarti menempatkan penyalah guna narkotika sebagai korban kejahatan narkotika.

Dalam UU No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, salah satu tujuannya yang tercantum dalam pasal (4) adalah menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial bagi penyalah guna dan pecandu narkotika. Namun fakta di lapangan, para penyalah guna dan pecandu narkotika dijatuhi hukuman penjara dan mendekam di Lembaga Permasyarkatan.

Oleh karena itu, masih banyak yang harus dibenahi dalam rangka mengoptimalkan program penanggulangan NAPZA ini.

Harm Reduction di Indonesia

Nah, sekarang kita masuk ke Indonesia. Saat ini program Harm Reduction banyak digunakan untuk pengurangan dampak pada pengguna NAPZA suntik (penasun), dan penyebaran HIV/AIDS.

Apa saja program Harm Reduction yang sudah dijalankan? Menurut Pusat Penelitian HIV/AIDS Unika Atma Jaya Jakarta, ada 9 intervensi yang dilakukan dalam paket layanan komprehensif Harm Reduction. Hal tersebut adalah sebagai berikut:[/vc_column_text][/vc_column][/vc_row][vc_row][vc_column width=”1/1″][vc_single_image image=”143″ alignment=”center” border_color=”grey” img_link_target=”_self” img_size=”full”][/vc_column][/vc_row][vc_row][vc_column width=”1/1″][vc_column_text]Lalu apakah menyetujui Harm Reduction berarti mendukung penggunaan NAPZA?

Jika dianalogikan dengan program mewajibkan pengendara mobil untuk menggunakan sabuk pengaman, tidak berarti pemerintah merestui atau menyetujui tindakan mengemudi yang berisiko. Namun justru mengakui fakta mengenai sering terjadinya tindakan mengemudi yang berisiko dan berusaha untuk menanggulangi akibat dari tindakan buruk tersebut.

Menyediakan layanan alat suntik steril bagi para pengguna NAPZA suntik bukan berarti menyetujui atau mendorong pengguna untuk terus menyuntik NAPZA tapi lebih didasarkan pada fakta bahwa tindakan menyuntik berisiko memang terjadi dan tidak mudah untuk dicegah sehingga diperlukan usaha untuk mengurangi dampak yang merugikan dari menggunakan napza suntik. Tujuan utamanya adalah untuk menjaga praktik menyuntik yang dilakukan oleh para pengguna yang mau berhenti atau belum bisa berhenti agar tetap aman. (sumber: Emmy & Gracia Simanullang-PPH Atma Jaya, http://www.arc-atmajaya.org/sumber-pengetahuan/informasi-dasar/239-informasi-dasar-harm-reduction)

Tantangan Ke Depan

Sebagaimana kita ketahui, tahun 2015 ini adalah tahun darurat narkoba. Artinya, kondisi bangsa Indonesia sudah memasuki tingkat yang mengkhawatirkan, dalam hal jumlah penyalahguna narkoba. Sehingga butuh support dari semua pihak yang mampu dan mau, khususnya yang terkait dalam proses ini. Baik itu dalam penetapan status menurut UU yang berlaku (pecandu, penyalahguna, pengedar, pengguna), ataupun program yang dilakukan secara terpadu antara pemerintah dan komponen masyarakat.

Dalam hal konsep wajib lapor yang dijalankan oleh BNN, menurut saya pribadi ada kerancuan dalam penyampaian pesannya. Wajib lapor digunakan oleh dirjen pajak untuk seluruh masyarakat Indonesia yang sudah menjadi wajib pajak, artinya diwajibkan untuk lapor pajak. Sedangkan wajib lapor dalam program BNN, adalah kegiatan dimana para pecandu diwajibkan untuk lapor sesuai dengan aturan sebagai berikut:

PASAL 128 (1) Orang tua atau wali dari pecandu yang belum cukup umur, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) yang sengaja tidak melapor, dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah)

PASAL 128 (2) Pecandu narkotika yang belum cukup umur dan telah dilaporkan oleh orang tua atau walinya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) tidak dituntut pidana

PASAL 128 (3) Pecandu narkotika yang telah cukup umur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (2) yang sedang menjalani rehabilitasi medis 2 (dua) kali masa perawatan dokter di rumah sakit dan/atau lembaga rehabilitasi medis yang ditunjuk oleh pemerintah tidak dituntut pidana

PASAL 128 (4) Rumah sakit dan/atau lembaga rehabilitasi medis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus memenuhi standar kesehatan yang ditetapkan oleh Menteri

Menurut humas BNN, pengaturan Wajib Lapor Pecandu Narkotika bertujuan untuk memenuhi hak pecandu Narkotika dalam mendapatkan pengibatan dan atau perwatan melalui rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial; mengikutsertakan orang tua, wali, keluarga dan masyarakat dalam meningkatkan tanggung jawab terhadap pecandu Narkotika yang ada di bawah pengawasan dan bimbingannya; dan memberikan bahan informasi bagi pemerintah dalam menetapkan kebijakan di bidang pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika. (sumber: http://dedihumas.bnn.go.id/read/section/artikel/2014/01/13/841/wajib-lapor-pecandu-narkotika )

Namun apakah nama wajib lapor ini akan lebih bersahabat dibandingkan dengan lapor diri, atau program dukungan keluarga? Dengan stigma dan pandangan negative dari masyarakat yang masih cukup tinggi, “kewajiban” ini akan memiliki dinding yang cukup tinggi dalam menjangkau objek utamanya.

Berikutnya adalah program pemerintah yang berkesinambungan dan berdasar pada “best-practice” yang sudah dijalankan di negara lain. Kenapa demikian? Karena dalam konteks masalah narkoba dan penanggulangannya, Indonesia bukanlah satu-satunya negara yang mengalami hal tersebut. Ada banyak negara lain yang juga mengalami dan memiliki model penanggulangannya, dan yang dianggap sukses. Apakah bisa diterapkan di Indonesia, tentu aka nada penyesuaian-penyesuaian terkait kondisi yang ada di Indonesia.

Program penyuluhan dan pendidikan di masyarakat juga sangat penting, mengingat tingginya stigma masyarakat terhadap pecandu dan proses pemulihannya. Dengan adanya pelatihan, seminar dan penyuluhan, diharapkan masyarakat semakin bijaksana dalam melihat kondisi sosial yang terjadi dilingkungan terdekatnya.

Dan yang tidak kalah pentingnya adalah peran serta masyarakat, khususnya dalam proses pencegahan. Dalah hal ini memberikan pendidikan sejak dini kepada anggota keluarga mengenai dampak penyalahgunaan NAPZA. Jika setiap keluarga memiliki ikatan yang kuat dan saling mendukung dalam proses ini, dikalikan dengan seluruh keluarga di Indonesia, maka tidak mustahil Indonesia akan menjadi “best-practice” bagi negara lain dalam program penanggulangan dan pengurangan dampak buruk NAPZA. (YPO)[/vc_column_text][/vc_column][/vc_row][vc_row][vc_column width=”1/1″][vc_separator color=”grey” style=”” el_width=””][/vc_column][/vc_row][vc_row][vc_column width=”1/1″][vc_gallery type=”image_grid” interval=”5″ images=”151,153,152,155,154,149,156,144,158,157″ onclick=”link_image” custom_links_target=”_self” title=”Event Gallery” img_size=”medium”][/vc_column][/vc_row]